Senin, 08 Oktober 2012

Perkembangan Awal Mula Susur Goa Di Indonesia


Sejarah Caving (Susur Gua) Di Indonesia

 Salam PaRLiN2002 Untuk Indonesiaku....
Halo Sobat Alam....
Postingan saya kali ini masih mengupas tentang kegiatan outdoor susur goa atau caving.
Dimana wilayah Indonesia yang saat ini sudah dikembangkan tentang potensi wisata minat khusus di kawasan karst PAWONSARI ( PAcitan Jawa Timur - WONogiri Jawa Tengah - WonoSARI Jogjakarta) yang letaknya berderet di Pegunungan Seribu merupakan pegunungan kapur yang sangat kaya akan sungai bawah tanah melalui goa-goa di dalam perut bumi.


Caving atau penelusuran gua, boleh dibilang cukup lama dikenal Indonesia. Persisnya kegiatan ini sudah mulai marak tahun 1980 - an, ketika Persatuan Speleologi dan Caving Indonesia (Specavina) dibentuk di Bogor dengan tokoh-tokohnya antara lain dr. Ko King Tjoen, Norman Edwin ( alm ), Dr. Budi Hartono, dan Effendi Soleman. Mulailah dari sini kegiatan yang jadi hobi baru kala itu menyebar, terutama di kampus - kampus.
Hobi ini agaknya di awal perkembangannya terseok - seok karena yang didalaminya tak melulu keterampilan fisik saja namun juga aspek ilmiahnya. Selain, peralatan yang dibutuhkan pun sulit dibeli di sini. Specavina, ketika itu pula agak selektif membagi ”ilmu” pada peminat. Hanya mereka yang memiliki latar belakang keilmuan atau yang menyukai pengetahuan tentang speleologi yang boleh bergabung. Specavina sebagai pelopor ketika itu sengaja lebih menonjolkan unsur ilmiahnya ( speleologi ) ketimbang ”olahraganya” ( caving

Salah satu aspek yang harus diketahui penggemar caving adalah pengetahuan dasar geologi. Terutama bagaimana awal gua itu terbentuk, di daerah mana bisa ditemukan, sifat batuannya, jenis gua, dan sebagainya. Dengan dasar pengetahuan ini, caver ( penelusur gua ) bisa dengan mudah menemukan gua. Sebab, mereka hanya akan mendatangi wilayah yang banyak terdapat batu gamping. Secara teori demikianlah adanya. Gua banyak terdapat di kawasan batu gamping ( karst ). Berbekal pengetahuan itu pula jika bisa membaca peta geologi, maka di mana saja sebaran daerah karst, di sana tujuan yang tepat untuk perjalanan melakukan ekspedisi.

Aspek lain yang tak kalah penting adalah biologi gua ( biospeleologi ). Memang tak harus menjadi ahli biologi dulu baru bisa menekuni caving. Tapi paling tidak dengan modal ”baca - baca” dulu, penelusur gua bisa membandingkan flora fauna antara gua yang satu dengan lainnya. Atau mungkin dia menemukan spesimen baru yang bisa menambah khasanah pengetahuan biologi gua di Indonesia. Dia pun menjadi tahu bagaimana cara menyimpan koleksi itu dengan baik sebelum dibawa ke pakarnya untuk diidentifikasi.

Keunikan
Fauna gua terbilang unik. Semuanya beradaptasi dengan lingkungan gelap abadi tak hanya terbilang puluhan atau ratusan, tapi ribuan tahun. Mereka berevolusi disesuaikan dengan alamnya yang gelap gulita. Di sebuah gua di Amerika pernah ditemukan salamander transparan dan tak bermata ( eyeless ), bahkan buta ( blind ). Diduga salamander itu terjebak di dalam gua dan tak bisa keluar. Untuk bertahan hidup satwa itu mengembangkan indera peraba dan perasanya sedemikian rupa untuk menggantikan fungsi matanya. Lama - kelamaan alat penglihatan itu tertutup selaput karena mubazir.

Begitu pun flora dalam gua yang beradaptasi dengan lingkungan gelap total. Tumbuhan untuk hidup di permukaan memerlukan sinar matahari. Tumbuhan berdaun belum pernah dilaporkan ditemukan di dalam gua. Yang lazim dijumpai adalah aneka jamur yang bentuknya aneh - aneh. Misalnya ada jamur yang memiliki leher yang panjang, dengan topi kecil namun lunglai.

Di Indonesia penemuan satwa gua yang terbilang sensasional pernah terjadi. Tapi sayangnya itu tak tercatat di lembaga resmi pemerintah atau internasional. Di tahun 1980-an, persisnya tahun berapa sudah .lupa, klub penelusur gua Garbhabhumi dari Jakarta ketika terjadi gerhana matahari total, masuk ke Gua Ngerong di Tuban, Jawa Timur. Bentuk gua itu adalah gua air yang merupakan sungai.


Klub yang dipimpin Norman Edwin ( alm ) saat itu menerobos masuk dan melawan arus dengan perahu karet. Tak sampai satu kilometer, mereka terbentur air terjun. Setelah memanjat air terjun, langkah mereka terhenti sebab di bagian atasnya terdapat mata air. Lorong itu mungkin bisa ditelusuri lebih jauh, namun memerlukan teknik dan peralatan diving. Diputuskan ketika itu untuk stop dan kembali ke luar.

Di bagian inilah mereka secara tak sengaja melihat kelap - kelip di dalam air yang memantul dari sinar lampu. Ternyata barang yang mengkilat itu adalah ikan. Setelah dipelototin lebih dekat lagi, ikan itu tak bermata dan transparan. Dibalut rasa girang, spesimen itu dibawa ke Jakarta untuk diidentifikasi. Beberapa bulan ikan yang mirip anak tawes itu masih hidup dalam akuarium yang dikondisikan seperti di alamnya oleh Riza Marlon ( kini juru foto profesional ).

Oleh Yatna Supriatna, kini doktor biologi, temuan itu diidentifikasi sebagai Puntius microps. Sebagai pembanding, satwa eyeless di gua di Amerika atau Eropa baru dijumpai di kedalaman puluhan kilo sampai ratusan. Tapi di Tuban, tak sampai 2 kilometer. Mungkin ini bisa menjadi bahan kajian ilmuwan kita yang tertarik pada cave biology. Jika di sana, gua bisa melahirkan ratusan doktor, mengapa di sini tak bisa? Takut gelapkah, becek dan bayangan mistis tentang gua yang mengakibatkan orang enggan berurusan dengannya?

Pemetaan Gua

Masuk gua memang bukan sekadar masuk dan mengagumi keindahan di dalamnya saja. Namun banyak yang harus dikerjakan. Apalagi ketika zaman itu belum banyak perkumpulan penelusur gua sehingga untuk mengklaimnya harus dibuktikan dengan peta dan foto-foto. Keakuratan peta sebuah gua dilihat dari siapa yang membuatnya. Sayangnya kebanggaan dan semangat untuk membuat peta gua oleh klub - klub caving di Indonesia, melempem.

Hal ini berbeda dengan kondisi klub penelusur gua di luar negeri. Mereka begitu getol menyusun peta gua hingga ke hal yang detail. Sampai akhirnya tercipta lambang-lambang khusus dalam pemetaan gua yang jelimet. Jika ada hal khusus yang ditemukan, misalnya speleothems ( bentukan gua seperti stalaktit, stalakmit, gourdam, straws, pearls cave dan sebagainya ) yang mungkin istimewa bentuknya, biasanya peta itu dibuat irisan dengan gambar detail atau lambang. Di peta tersebut biasanya tercantum grade, semakin tinggi angka yang tercantum dalam grade itu maka semakin akurat peta itu dibuat. Di sana yang enak adalah generasi selanjutnya. Jika ingin masuk gua tinggal masuk dengan panduan peta. Namun penelusur di sana bukan sekadar mengikuti petunjuk peta.

Bila denah yang dibuat sebelumnya ada kesalahan maka akan dikoreksi dan dilaporkan ke paguyuban penelusur gua. Maka tak mengherankan jika kini hampir pasti peta gua di negara - negara maju, akurat. Semua gua sudah terpetakan yang diikuti dengan data base yang lengkap. Saking lengkapnya, mereka bisa tahu mana gua yang terpanjang atau yang terdalam di dunia. Gua yang terdalam dan sampai kini belum terpecahkan rekornya adalah Voronja Cave di Georgia, pecahan bekas Uni Soviet, yakni 1.710 meter.

Bayangkan untuk menuruninya berapa panjang tali yang dipakai dan berapa lama waktu yang diperlukan untuk sampai ke dasar gua. Sementara gua yang terpanjang dan kompleks sekali lorong - lorongnya adalah Mammoth Cave di Amerika Serikat yakni, 563,270 km dan dalamnya -116 m.



Kabar bahwa pemetaan gua tak begitu berjalan di Indonesia, sudah bisa dimaklumi. Karena penggemar caving di sini cenderung menyukai dari sisi olahraga dan petualangannya. Aspek ilmiah bukannya tak menarik, tapi kurang menguasai. Pakar biologi atau geologi yang sesungguhnya di Indonesia, adakah yang membangun tesis dari gua? Kalaupun ada mungkin jumlahnya tak sampai hitungan jari sebelah tangan.

Potensi gua di negeri ini sebetulnya tak kalah menarik dengan yang ada di luar negeri. Ketika tahun 1980-an, wilayah ini menjadi incaran caver dunia. Berbagai cara mereka lakukan untuk bisa caving di sini, namun terbentur peraturan yang menyebutkan peneliti asing harus seizin LIPI. Adanya peraturan itu sebetulnya ada bagusnya. Mereka jadi tak seenaknya ”mengeksplorasi” gua di Indonesia. Sayangnya, kesempatan itu tak dipakai oleh penelusur gua kita untuk menjadikan dirinya sebagai yang pertama.
Belakangan seorang ahli geologi yang juga seorang caver berkebangsaan Inggris, Tony Waltham, masuk lewat jalur sebuah departemen. Dia datang konon membantu pengairan di daerah Gunung Kidul yang tandus.
Sebagai pakar geologi, dia tahu betul bahwa air di sana hanya dijumpai di sungai bawah tanah alias di dalam gua - gua. Dia pun paham bahwa Gunung Kidul adalah kawasan karst yang nota bene adalah sarangnya gua yang belum diutak-atik oleh caver mana pun. Sepulangnya dari Indonesia tak lama kemudian terbitlah buku tentang gua-gua di sana, berikut foto - foto yang menawan. Potensi gua yang masih menjanjikan, menurut peta geologi terletak di Sulawesi dan Papua. Tapi yang menantang adalah yang di Papua. Di peta tertulis selain kawasan karstnya luas, juga ”ketebalannya” mencapai ribuan meter. Artinya, jika ada gua vertikal ( pothole ) di Papua maka kedalamannya berpotensi mengalahkan Gua Voronja di Georgia

 
Ketertinggalan negara Indonesia dalam mengenal konsep Speleologi, memunculkan cara pandang dan perlakuan yang salah terhadap kawasan kars2 selama ini. Kawasan kars yang tersusun atas gugusan batukapur (dalam bahasa geologi dikenal sebagai batugamping) selalu dianggap sebagai lahan kritis, tidak produktif dan selalu diidentikkan dengan wilayah kemiskinan. Cara pandang ini cenderungmengakar kuat ketika sebagian ilmuwan dan akademisi enggan melepaskan keyakinan intelektualnya dan menggantinya dengan informasi-informasi terbaru tentang kars. Bahwa kars tidaklah demikian adanya. Keengganan akademisi dan ilmuwan ini akhirnya menjadi pintu masuk yang strategis bagi kaum kapitalis untuk menancapkan cengkeramannya atas kekayaan alam yang seharusnya dapat dinikmati oleh masyarakat lokal selama beberapa generasi mendatang.
Ketika negara-negara maju bergiat mendorong dan melindungi kawasan karsnya sebagai kawasan konservasi, justru negara-negara ketiga seperti Indonesia tersesat dan bergiat untuk mengekploitasi lahan karsnya. Terlepas dari banyaknya potensi yang belum teridentifikasi, pengambilan keputusannya pun sering gegabah dan terburu-buru tanpa mempedulikan dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Sering terjadi, para pengambil keputusan terlalu tergiur oleh bayang-bayang keuntungan sesaat yang dijanjikan kaum kapitalis. Faktanya, dari 154.000 km2 kawasan kars yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, pengambil keputusan justru memilih kawasan kars yang bersinggungan langsung dengan nasib orang banyak, salah satunya adalah kawasan Kars Sukolilo, yang kini tengah diincar sebagai lahan tambang batugamping untuk memenuhi kebutuhan ekspor semen PT. Semen Gresik Tbk.

Kawasan Kars Sukolilo3 membentang di bagian utara Propinsi Jawa Tengah dengan luas 19.472 hektar, meliputi Kabupaten Blora (45.3 Ha), Kabupaten Grobogan (721 Ha) dan Kabupaten Pati (11.802 Ha). Kawasan Kars Sukolilo ini berupa gugusan perbukitan kapur yang dikenal akrab oleh masyarakat sekitar sebagai Pegunungan Kendeng. Berdasarkan pembagian fisiografi Pulau Jawa oleh RW. Van Bemmelen4 (1949), Kars Sukolilo merupakan bagian dari Zona Rembang, kelompok perbukitan yang terbentuk oleh struktur lipatan dengan arah sumbu lipatan barat daya – timur laut. Zona Rembang didominasi endapan laut berumur Tersier dan terkenal dengan lapangan minyaknya yang telah beroperasi sejak abad 20.
Sepintas lalu Kars Sukolilo (juga kawasan kars pada umumnya) memang menunjukkan gejala sebagai kawasan kering dan tidak produktif di musim kemarau, sebagian besar permukaan lahannya ditutupi oleh semak belukar, sebagian lagi berupa hutan yang dikelola oleh Perhutani. Namun jika dilihat lebih dekat, anggapan bahwa kawasan kars ini adalah lahan tidak produktif ternyata salah belaka. Ada rantai kehidupan di sana. Ribuan masyakat secara turun temurun hidup berdampingan dengan lahan kars. Masyarakat ini bertani dan berladang dengan memanfaatkan lembah-lembah kars sebagai media tanamnya. Mereka juga beternak dan menjalin hubungan secara serasi dengan alam di mana mereka tinggal. Kars Sukolilo menyediakan kekayaan yang tiada habisnya, bagi orang-orang yang tinggal di sekelilingnya.

Kakayaan Kars Sukolilo tidak hanya pada batukapur yang merupakan bahan baku industri semen. Kars berdasarkan sifat fisiknya memiliki kemampuan dalam menyerap dan menyimpan air dalam kurun waktu yang lama. Selain potensi air, kars yang awalnya tertutup oleh lebatnya hutan juga memiliki fungsi sebagai habitat flora dan fauna, bahkan beberapa diantaranya tercatat sebagai fauna langka. Di beberapa tempat, pada kawasan kars dapat ditemukan peninggalan bersejarah, baik berupa situs-situs arkeologi dari zaman pra sejarah hingga peninggalan dari kerajaan-kerajaan kuno. Singkat kata, kekayaan alam kars meliputi aset-aset hayati dan non hayati, sehingga perlu dilakukan identifikasi kawasan secara terpadu untuk dapat menentukan apakah layak sebuah kawasan kars hanya dieksploitasi dari sisi tertentu saja.

Sayangnya, pengambil keputusan (dalam hal ini adalah kepala daerah) terlanjur menyetujui rencana ekploitasi batugamping di kawasan Kars Sukolilo, padahal proses identifikasi potensi kawasan dengan menerapkan konsep speleologi baru saja dimulai dan belum sepenuhnya tergali. Potensi yang tergali baru meliputi potensi air, belum menyentuh perilaku hidrologi kawasan secara utuh. Fungsi kawasan Kars Sukolilo sebagai daerah resapan dan penyimpan air alami mengalami ancaman serius jika kelak rencana penambangan batugamping oleh PTSG tersebut terealisasi. Ancaman kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan akan menjadi tidak terelakkan di masa-masa mendatang.
( Sumber : kpa-expa.blogspot.com , asc.or.id dan berbagai sumber )

0 komentar:

Posting Komentar